Jejak Aceh di Kota Malaka

OLEH SYAUQI RIDHA, Penerima Beasiswa Program Magister LPSDM Aceh, Ketua Forum Aneuk Nanggroe-Universiti Pendidikan Sultan Idris (FAN-UPSI), melaporkan dari Perak, Malaysia

TELAH lama saya dengar sejarah Aceh-Malaka. Kini keinginan untuk melihat kota taklukkan Sultan Iskandar Muda itu sudah tak terbendung. Naik bus dua jam dari Kuala Lumpur, saya akhirnya tiba di Malaka.

Malaka punya begitu banyak aset sejarah. Kota yang pernah dikuasai Portugis, Belanda, dan Inggris ini penuh dengan bangunan kuno, benteng peninggalan Portugis, dan gereja tua. Hal ini mengundang begitu banyak turis untuk berkunjung.

Di sebelah barat sungai terdapat China Town. Segala atribut Cina memenuhi kota itu. Saya sewa sepeda untuk menyusuri kota ini. Mulai dari aksesori, pakaian, makanan sampai barang-barang antik dijual di sini. Membawa saya seperti hidup di zaman Laksamana Cheng Ho.

Esoknya saya jelajahi lagi Malaka. Saya daki sebuah bukit yang di atasnya terdapat sebuah gereja merangkap benteng. Dibangun kapten Portugis bernama Duarte Coelho tahun 1521 dan dinamai “Our Lady of The Hill”. Saat Belanda berkuasa, benteng ini diganti nama menjadi St Paul. Saya melangkah ke dalam, menyusuri tiap bagian benteng itu. Hal ini membuat saya seakan masuk ke dalam labirin waktu, membayangkan sejarah yang ditulis H Mohammad Said dalam bukunya Aceh Sepanjang Abad tentang heroiknya pasukan Aceh menyerang Kota Malaka tahun 1629 yang sedang dikuasai Portugis.

Kota Malaka dibelah oleh Sungai Malaka, urat nadi kota pada masa itu. Dari sinilah pasukan Aceh masuk menyerbu. Pasukan Portugis menunggu di benteng pertahanan terluar bernama St John. Tapi pertahanan ini tak lama. Pasukan Aceh berhasil menaklukkannya dalam waktu singkat. Pasukan Portugis mundur lalu menuju ke pertahanan kedua, yaitu sebuah gereja bernama “Madre de Dios”. Letaknya strategis, di atas sebuah bukit Kota Malaka. Gereja ini dibangun tahun 1581. Pasukan Aceh terus menyerang dan menembaki tanpa henti.

Di sisi lain Portugis terus mempertahankan Mandre de Dios. Tapi setelah dua bulan, jatuh ke tangan pasukan Aceh. Pasukan Portugis lari kocar-kacir menuju pertahanan terakhir, sebuah gereja kebanggaan Portugis yang diberi nama Sint Paul’s Hill (S. Paul). Letaknya di bukit tertinggi Malaka, dinamai Bukit Cina. Pasukan Aceh mengepungnya berbulan-bulan. Benteng-benteng kayu di kaki bukit dibuat dengan sangat kuat oleh pasukan Aceh. Dari sini mereka gempur pertahanan Portugis pakai meriam dengan tiada hentinya. Tapi Portugis rupanya telah siap bertahan untuk waktu yang cukup lama. Di dalam gereja sudah mereka persiapkan bahan makanan dalam jumlah banyak. Pasukan Portugis terus bertahan sambil menunggu bala bantuan.

Pada masa itu Kerajaan Pahang bersekongkol dengan Portugis. Pasukan Aceh yang dipimpin Orang Kaya Laksamana lengah untuk menjaga pertahanan dari sisi laut. Dari sinilah pasukan Kerajaan Pahang masuk dan menyerang, selanjutnya disusul dengan bala bantuan Portugis dari Goa.

Pasukan Aceh luluh lantak, korban berjatuhan. Orang Kaya Laksamana ditangkap, kapal-kapal Aceh dirampas oleh Portugis.

Saya terus mencari pelbagai informasi mengenai Aceh di Malaka, tapi hanya satu informasi tentang Aceh yang saya peroleh. Tepatnya di sebuah museum berbentuk kapal Portugis “Flora De La Mar” yang menyerang Malaka tahun 1511. Ukuran replika kapal itu hampir menyerupai aslinya yang dinamai “Museum Samudera”. Di dalam museum itulah terdapat miniatur kapal Aceh disertai keterangan dalam bahasa Melayu dan Inggris: Kapal Acheh. Disebutkan di situ, orang Portugis sering menemui angkatan perang Acheh di Selat Malaka. Tahun 1620, Acheh menyerang Malaka melibatkan ratusan kapal.

Model yang dipamerkan di museum ini adalah kapal dagang Aceh yang dilengkapi meriam panjang. Kapal ini berlunas kecil dengan papan lebar yang disusun rapi membentuk ruang badan kapal agar muatannya banyak. Sauhnya dibuat dari kayu di bagian haluan dan kabin di buritan. “Kapal ini berukuran 80-100 kaki, tingginya 10 kaki. Ia berlayar sepanjang Selat Malaka sehingga Pulau Makassar (Celebes).”

Banyak inspirasi yang saya peroleh dari perjalanan ini. Pertama, tentu saja rasa bangga mengenang kegagahan indatu kita menentang kolonialis demi mempertahankan marwah agama dan bangsa Aceh. Kedua, Malaka dan Aceh pernah sama-sama menjadi pusat perdagangan dan penyebaran Islam di Asia Tenggara. Namun, saat ini Malaka jauh lebih serius melestarikan warisan sejarahnya, sehingga pada 7 Juli 2008 Unesco menobatkan Malaka sebagai Kota Warisan Dunia. Kota ini juga destinasi wisata utama di Malaysia.

Semoga Pemerintah Aceh juga mampu mengikuti langkah Malaka dalam pelestarian warisan budaya dan pengembangan wisata sejarah warisan leluhur.
[email penulis: syauqiridha@yahoo.com]

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Cara Membuat Form PHP menggunakan Adobe Dreamweaver CS5

Cara Membuat Halaman Statis di Blog Blogspot