Dari Warung Kayu Hingga Ruang Ber-AC

AWALNYA, sate matang yang sudah terkenal di nusantara ini hanya ada di Keude Matang Geulumpangdua, Peusangan, Bireuen. Berawal dari gerai kecil yang terbuat dari kayu. Hanya rak dan asap dari dapur soto yang bisa mencirikan itu adalah Sate Matang.

Sate matang pertama kali diracik oleh almarhum H Tu Ali. Kala itu, sekitar 1970-an, di Keude Matang Geulumpangdua hanya di warung Siang Malam milik almarhum Tu Ali yang menjual sate matang.

Sate matang pertama kali diracik oleh almarhum H Tu Ali. Kala itu, sekitar 1970-an, di Keude Matang Geulumpangdua hanya di warung Siang Malam milik almarhum Tu Ali yang menjual sate matang.

Sate matang pertama kali diracik oleh almarhum H Tu Ali. Kala itu, sekitar 1970-an, di Keude Matang Geulumpangdua hanya di warung Siang Malam milik almarhum Tu Ali yang menjual sate matang.

Dulu, sate matang dibuat dari daging kambing yang diiris halus-halus dan ditusuk pada lidi bambu. Karena daging kambing kian mahal, kini jarang ditemukan sate dari daging kambing. “Mayoritas sate matang (sekarang) dari daging sapi. Rasanya juga tidak jauh berbeda dengan daging kambing,” kata Fadli, pedagang sate matang di warung Siang Malam.

Kini, warung sate matang sudah menjamur hampir di seluruh Aceh. Bahkan, telah merambah ke luar Aceh. Di Matang Geulumpangdua, warung yang berdiri kokoh di Jalan Medan-Banda Aceh itu telah terenovasi beberapa kali. Bangunan yang dulunya terbuat dari kayu, kini disulap menjadi kedai beton berlantai dua.

Tak hanya itu, warung ini dilengkapi ruangan khusus dengan Air Conditioner (AC). Ruangan dimaksud sengaja disiapkan untuk memberikan kepuasan dan kenyamanan bagi pelanggan yang menyantap nasi sate matang di warung sate tertua tersebut. Mau coba menikmati sate matang langsung di tempat asalnya? Yuk ke Matang Geulumpangdua.(*)

Rasa Khas, Menggugah Selera

SIANG itu, udara di seputaran Keude Matang Geulumpangdua, Peusangan, Bireuen, cukup panas. Matahari yang menambakkan sinarnya ke kota yang tak pernah tidur itu, menyengat di ubun-ubun. Hilir-mudik kendaraan ditambah kebisingan suara knalpot sepeda motor dan mobil, membuat suasana kian penat. Ditambah hiruk-pikuk pedagang di pasar tradisional setempat, melengkapi kebisingingan suasana di kota tersebut.

Ratusan pintu toko berbagai jenis usaha, berjejer di sepanjang jalan Medan-Banda Aceh, kawasan Keude Matang Geulumpangdua. Di antara ratusan pintu toko berlantai dua itu, terdapat puluhan gerobak sate yang teronggok rapi di depan warung kopi di sepanjang lintas nasional tersebut. Gerobak itu adalah pedati sate matang.

Asap-asap tipis mengepul dari dapur soto di gerobak dimaksud. Di samping kiri kereta itu, seorang pria dengan wajah pias tengah mengipas-kipas sate di atas panggangan. Sementara seorang lagi menusuk daging mentah yang telah diiris ke tusukan bambu.

Asap yang muncul dari tusuk-tusuk sate di atas panggangannya itu mengepul mengeluarkan aroma yang harum. Rasanyapun, hmmmm... menggugah selera siapapun yang menikmatinya.

Kekhasan tersebut mengundang rasa lapar setiap pengunjung untuk menghampiri warung-warung yang menjual sate matang tersebut. Dengan rasanya yang khas, sate matang banyak dinikmati para pelintas dari berbagai daerah mengambil kesempatan untuk makan sate di kota Matang Geulumpangdua itu.

***

BILA di Bandung, Jawa Barat, dikenal dengan gedung satenya, Keude Matang dijuluki sebagai Kota Sate. Di sana, mobil-mobil berparkir, penumpangnya pun turun menuju ke puluhan pedagang sate yang memadati sejumlah pelataran warung kopi. Para penumpang angkutan umum maupun mobil pribadi, singgah di sana untuk melepas penat sembari menikmati nasi sate matang.

Bagi para pelancong ke ke Tanah Rencong, belum lengkap rasanya bila belum mencicipi menu yang sudah menjadi kuliner khas Matang Geulumpangdua itu.

Rasanya menggugah selera siapapun yang menikmati keharuman kepulan asap dari tusuk-tusuk sate di atas panggangannya. Menikmatinyapun tak mesti ditemani sepiring nasi dan sop daging. “Cukup dimakan satenya ditambah bumbu kacang, rasanya cukup sedap,” ujar Zulkarnen, pengunjung yang mencicipi beberapa tusuk sate di warung sate ‘Siang Malam’ Matang Geulumpangdua.

Bagi para pengunjung, rasa sate matang yang dijual di Keude Matang Geulumpangdua sangat khas. Berbeda dengan sate-sate matang yang dijual di berbagai kota lainnya di Aceh maupun luar Aceh, seperti di Jakarta dan Medan.

Tak sulit menjumpai sate matang di daerah lain di Aceh, bahkan luar Aceh. Akan tetapi, sate matang yang berasal langsung dari kota aslinya, memiliki rasa yang sangat khas.

Dari puluhan warung yang berdiri di Kota Sate—julukan Keude Matang, menawarkan aroma, rasa, dan ciri khas yang hampir sama. Inilah kekhasan Sate Matang.

“Cita rasa sate matang yang enaknya, tetap di Matang,” pungkas lelaki 30 tahun itu, seraya menyebutkan pernah mencicipinya di beberapa tempat lain di Aceh.

Sate matang ini tak hanya nikmat dimakan saat panas. Ketika sudah dingin pun, rasa sate pun masih tetap gurih. Inilah satu salah kuliner untuk menyajikan kenikmatan sate dengan kekhasan rasa dan menggugah selera.(*)

Piyoh... piyoh... Buka 24 Jam

TANGANNYA bergerak cepat sambil duduk di kursi kayu menghadap ke Jalan Medan-Banda Aceh. Pria bertubuh kurus itu terus bekerja menusuk sate pada lidi bambu yang dipegang di tangan kirinya.

Hiruk-pikuk suara kendaraan di jalan nasional itu tak berpengaruh pada pekerjaannya. Sesekali, lelaki paruh baya itu melambaikan tangannya ke arah mobil pelintas di jalan nasional tersebut. “Piyoh... piyoh... Bu sate matang (mampir... mampir... makan nasi sate matang),” begitu Fadli memanggil pelanggan untuk singgah di warung sate matang di Keude Matang Geulumpangdua, Peusangan, Bireuen.

Untuk melayani pelanggannya, Fadli tak hanya bekerja separuh hari. Dia terpaksa membagi shift dengan beberapa rekannya, agar para penikmat sate matang bisa mengonsumsi sate kapanpun.

Setiap harinya, warung-warung sate di Keude Matang Geulumpangdua itu dipadati pengunjung. Tak heran kalau warung sate di sana buka 24 jam. “Pekerjanya ganti-gantian. Ada yang masuk pagi sampai sore dan ada yang masuk sore hingga pagi,” kata Fadli saat ditemui Serambi di warung sate Siang Malam, dua hari lalu.

Saban hari, dia mampu menghabiskan 25-35 kilogram daging sapi untuk seribuan tusuk sate. Jumlah tersebut menurun dibandingkan beberapa tahun lalu. Kondisi itu akibat semakin menjamurnya warung sate matang di Keude Matang Geulumpangdua dan sekitarnya.

“Dulu, warung kami menghabiskan 50-70 kilogram daging sapi atau satu ekor sapi sehari. Kalau Lebaran bisa hingga dua ekor sapi. Akan tetapi, sejak beberapa tahun terakhir, pada hari raya kami hanya menghabiskan seekor sapi atau 60-75 kilogram daging,” kata Fadli yang mengaku sudah 25 tahun menjadi pedagang sate matang.

Meski omzet menurun, tak lantas memancing niat Fadli untuk beralih usaha. Bahkan, dia kian melayani pelanggan yang singgah setiap hari. Kini, untuk memuaskan pelanggan, warung sate matang miliknya ditata menawan dengan pelayanan prima. Ini ditujukan untuk memberikan kepuasan dan kenyamanan bagi pelangggan yang menikmati nasi sate matang di warung tersebut.(*)

Menu Utama Keude Matang

KALAU Anda bertandang ke Bireuen, belum lengkap rasanya bila tak mencicipi makanan khas berupa tusuk-tusuk sate daging sapi di Keude Matang Geulumpangdua, Peusangan. Puluhan pedagang sate matang memadati sejumlah pelataran warung kopi yang disinggahi angkutan umum maupun mobil pribadi.

Sate matang itu dilengkapi bumbu kacang tanah yang digiling dengan cabai merah, cabe rawit, bawang merah, kemiri, dan lada. Ditambah santan, garam, dan gula pasir putih secukupnya. Bila dimakan dengan nasi putih, lebih sedap lagi ditambah kuah soto bercampur tulang daging atau otot-otot sapi. Kuah soto itu pun diracik khusus, sehingga rasanya nikmat, sedap, dan memuaskan.

Tidak heran bila setiap pengunjung lahap menikmati sate matang. Seperti Abah (52), warga Lhokseumawe, sangat menikmati kelezatan sate matang yang dijual di kawasan Keude Matang tersebut.

Sekitar 1980-an, harga satu bungkus nasi sate matang dengan tiga tusuk sate ditambah bumbu kacang dan kuah soto, hanya dijual Rp 2.500 per bungkus. Karena kian meningkatnya harga berbagai kebutuhan pokok, harga satu porsi dengan 10 tusuk sate ditambah bumbu kacang, kuah soto, dan nasi putih, dijual Rp 25 ribu per porsi. Harga tersebut sangat terjangkau.

“Kalau satu tusuk sate kami jual Rp 2.500, satu bungkus nasi sate dengan tiga tusuk sate plus bumbu kuah soto dan nasi putih kami jual Rp 10 ribu per bungkus,” ujar Irfan, pelayan di warung sate matang, sembari tangan kanannya bergerak mengipas sate pesenan pelanggan.

Meski harganya kian melonjak mengikuti perputaran waktu, sate matang tak lantas tergusur dengan kuliner lainnya. Bahkan, makanan ini telah menjadi menu utama Keude Matang.(*)

Pengunjung dari Berbagai Daerah

SEBUAH kota kecil yang terletak di sebelah timur Bireuen, terkenal dengan makanan khasnya Sate Matang. Tak haren jika setiap pengendara melintas di Keude Matang Geulumpangdua, Peusangan, Bireuen, singgah sesaat mencicipi sate matang.

Ditambah keramah-tamahan penduduk dan pelayan warung, gerai sate matang tidak sepi pengunjung. Selain pelintas dari berbagai kabupaten/kota di Aceh, para penikmat sate matang itu juga datang dari Medan dan Jakarta, dan daerah-daerah lainnya di Pulau Sumatera dan Jawa.

Mereka berkunjung bersama keluarga, teman kerja, maupun komunitas tertentu. Ada yang berwisata ke Aceh, ada juga yang bekerja di Serambi Mekah, menyempatkan diri ke kota itu. Bahkan, ada juga yang singgah sesaat seperti distributor barang, konsultan, atau kontraktor, untuk menikmati sate yang sudah terkenal seantero Indonesia.

“Wisatawan asing pun suka dan pernah mikmati makanan khas Keude Matang jika berkunjung ke Bireuen,” ujar M Yasir, pelayan di warung sate matang, sembari melayani sejumlah pelanggan yang menikmati sate di warungnya tersebut.

Warung-warung yang menjual sate di pusat kota Matang ini tak pernah sepi. Beberapa keluarga dan rombongan tampak lahap menikmati sate matang di warung-warung di sana. Mereka ada yang datang dari Banda Aceh dan Lhokseumawe, lalu singgah sesaat untuk menikmati sate matang bersama keluarganya.

Di antara mereka, ada yang berasal dari satu keluarga, berkelompok, maupun komunitas tertentu, seperti pemain klub sepakbola, komunitas sepeda ontel, dan komunitas lainnya.

Selain dari beragam daerah, penikmat sate matang juga berasal dari berbagai golongan usia, pangkat, jabatan, strata atau golongan, suku, agama, dan ras. Siapa pun dilayani di warung sate matang. Anda juga mau menjadi pengunjung berikutnya? Selamat menikmati sate matang.(*)

Festival Sate Matang

DENGAN cita rasanya khas, sate matang menjadi buruan tetamu dari berbagai daerah. Selain lezat, kegurihan sate matang terasa di ujung lidah. “Cita rasa sate matang yang enak dan sedap tetap yang dijual di Keude Matang,” ujar Irfan, Kepala Dinas Pemuda, Olahraga, dan Parawisata Bireuen.

Untuk membandingkan rasa, Irfan pernah mencicipi sate matang di beberapa tempat lain. Karena itu, Pemerintah Kabupaten (Pemkab) Bireuen berencana menggelar festival sate matang. Di event ini, salah satu rangkaian kegiatannya makan sate matang massal agar bisa masuk Mesuem Rekor Indonesia (Muri).

“Ini untuk melestarikan makan khas kita agar tidak punah, serta sate matang bisa menjadi wisata kuliner,” imbuh Irfan. Yang penting, pertahankan citarasanya yang khas. Selamat menikmati sate matang.(*)

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Cara Membuat Form PHP menggunakan Adobe Dreamweaver CS5

Cara Membuat Halaman Statis di Blog Blogspot